Semalam, aku dan temanku Holly akhirnya jadi juga menyaksikan agenda seni 2 tahunan yang bertajuk, Biennale Jogja XIV Equator #4 #IndonesiaMeetBrazil di Jogja National Museum di Jalan Amri Yahya.
Dari awal pameran mau kesini, tapi kadang bentrok sama kerjaan jadi wacana mulu deh. Buat kalian yang belum sempat datang, acara ini masih akan berlangsung hingga 10 Desember 2017. Tema kali ini adalah Stage of Hopelessness.
Acara ini dibagi dalam empat program utama, yakni Festival Equator (10 Oktober - 2 November), Main Exhibition (2 November - 10 Desember), Parallel Events (28 Oktober-3 Desember), dan Biennale Forum (4 November-7 Desember).
Berdasarkan informasi yang tersedia, ada sekitar 39 seniman dari Indonesia dan Brazil mengikuti acara Biennale Jogja XIV 2017 ini. Brazil merupakan negara di garis equator yang terpilih sebagai mitra oleh Yogyakarta. Konon sebelumnya di tahun 2011 mengajak seniman India sedang tahun 2013 mengajak seniman dari kawasan Arab dan Nigeria, kemudian terakhir seniman dari Afrika pada tahun 2015.
Total ada 27 karya seniman Indonesia dan 12 karya seniman asal Brazil. Peserta dari Indonesia diantaranya Adi Dharma, Aditya Novali, Arin Sunaryo, Farid Stevy Asta, Roby Dwi Antono, Daniel Lie, Lugas Syllabus, Gatot Pujiarto, Mulyana Mogus, Julian Abraham, Wisnu Auri, Narpati Awangga a.k.a Oomleo, Ngakan Made Ardana, Nurrachmat Widyasena, Patriot Mukmin, Sangkakala, Syaiful Garibaldi, Tattoo Merdeka, Timoteus Anggawan Kusno, Yudha Kusuma Putera a.k.a Fehung, Yunizar, dan Zico Albaiquni dan lain-lain.
Sedangkan seniman dari Brazil ada Lourival Cuquinha, Cinthia Marcelle, Tiago Mata Machado, Virginia de Medeiros, Clara Ianni dll.
Oh iya, buat yang penasaran berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyaksikan pameran karya seni ini, jangan khawatir. Semua free alias gratis. Yang perlu kalian perhatikan adalah JANGAN MENYENTUH KARYA SENI DALAM BENTUK APAPUN. Bahkan tulisan yang di dinding juga jangan ya. Sebisa mungkin jaga jarak dengan karya meski tidak ada petugas yang berjaga.
Begitu memasuki area pameran, karya pertama yang akan kita lihat adalah karya Farid Stevy berjudul "Habis Gelap Terbitlah Curhat". Farid mengekspresikan karyanya dengan membuat mural di tembok.
Jadi di sepanjang lorong lantai 1 itu, berbagai tulisan / kata-kata yang mungkin tak penting tapi banyak ditemui di berbagai tembok di Yogyakarta ini dia ditorehkan di tembok. Lucu-lucu banget dan kadang bikin kita tertawa sekaligus tertegun karena tulisan itu bahkan sering kita lihat namun tak pernah benar-benar kita perhatikan.
Tulisan berbagai promosi mulai dari jasa membuat skripsi, tesis, jualan alat bantu seks, obat perangsang, curhatan mahasiswa yang sedang skripsi, bahkan celetukan-celetukan sederhana yang sering kita temui di media sosial.
Beberapa tulisan itu diantaranya, "Masih merah kurang sedetik udah diklakson". Kemudian "Yang goblog situ yang disalahin micin". Ini sih sering banget aku denger. Sampe ada istilah generasi micin segala.
Ada lagi "Beda keyakinan. Akunya yakin, dianya enggak" dan lain-lain.
Aku dan Holly menghabiskan waktu cukup lama karena membaca tulisan-tulisan tersebut satu demi satu dengan seksama.
Keseluruhan area yang digunakan adalah 3 lantai. Kalau kalian ingin mengetahui dengan detil mengenai informasi tentang seniman terkait, kalian bisa melakukan scan QR Code tak jauh dari karya yang dipamerkan. Ada juga buku petunjuk yang dijual seharga Rp 50.000 dan Rp 100.000 .